BAB 1
SEJARAH
KAMPUNG ADAT URUG
Berdirinya
suatu kampung pasti memiliki sejarah atau cerita yang melatar belakanginya atau
cerita dari masyarakat tersebut, termasuk pula Kampung Urug ynag memiliki
cerita sejarah yang unik.
Kampung
Urug berasal dari kata “GURU” yang berarti digugu
dan ditiru, namun huruf pada awal kalimat dipindahkan posisinya ke belakang,
sehingga menjadi URUG. Mengapa dinamakan Kampung Urug? Karena berdasarkan
sejarah yang diceritakan oleh kikolot (Ketua adat) Kampung Urug suatu
saat nanti akan banyak orang yang akan berkunjung dan belajar di kampung ini.
Atas dasar inilah kata Urug diangkat menjadi nama kampung ini. Dalam konteks ini, pendiri kampung
(Prabu Siliwangi) yang jauh sebelumnya sudah menetapkan sebuah lahan untuk
perkampungan yang menjadi panutan tersebut. Hanya disini terdapat dua perbedaan
mengenai maksud dibalik kata guru tersebut, pertama sebagai
kamuflase (penyamaran) agar perkampungan
subur tersebut tidak diketahui oleh pihak yang tidak diinginkan. Kedua, menurut Abah Ukat, nama “GURU” dibalik menjadi “URUG”, karena suatu saat nanti akan
banyak orang berkunjung ke Kampung Urug untuk urusan pendidikan.
Mengenai sejarah atau asal-usul
keberadaan kampung adat di Jawa Barat, tidak akan pernah lepas dari Kerajaan
Sunda Pakuan Pajajaran (1482-1579) di Bogor. Kampung Adat Urug
memang memiliki hubungan yang erat dangan kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran.
Menurut Abah Ukat selaku kikolot
Kampung Urug, sejarah Kampung Adat Urug itu bisa dimulai diawal atau di akhir.
Jika dari awal, yaitu awal berdirinya Pajajaran Bogor, jika diakhir, tilemna,
ngahyang (menghilangnya) Prabu Siliwangi di Bogor sampai muncul di Kampung
Adat Urug yang memang sudah direncanakan oleh Prabu Siliwangi sebagai tempat
terakhirnya. Sebelum muncul di Kampung Adat Urug, Prabu Siliwangi menghilang
dan muncul di beberapa daerah. Berikut ini adalah urutan daerah dimana Prabu
Siliwangi menghilang dan muncul mulai dari Pajajaran Bogor à Panyaungan (jalan cagak
(bercabang) yang ke arah Pongkor dan Cigudeg) à Parung Sapi (arah Jasinga) à Sajra (Kabupaten Lebak, Banten) à Seuni (kabupaten Pandeglang,
Banten) à Lebak Binong (Cibaliung, Banten
Kidul) à Cipatat. Jadi, Kampung Adat Urug
adalah tempat pulang Prabu Siliwangi. Meghilangnya Prabu Siliwangi mulai dari
Pajajaran sampai terakhir di Kampung Adat Urug dikarenakan Prabu Siliwangi
tidak mau masuk Agama Islam yang pada saat itu dibawa oleh Raden Kian Santang,
anaknya sendiri.
Prabu Siliwangi
setibanya di Kampung Urug mempunyai
tiga orang anak. yang pertama laki-laki, yang ke-dua perempuan dan yang ke-tiga
laki-laki. Prabu Siliwangi memberikan mandat atau amanatnya untuk mewarisi dan
menjaga Kampung Adat Urug kepada putranya yang ketiga. Makam dari putra yang
ketiga tersebut berada di tepi kali Cidurian, yang kedua (perempuan)
“dihijrahkan” ke daerah Leuwi Catang, arah Gunung Pongkor, tetapi karena anak
kedua berjenis
kelamin perempuan, sehingga ia tidak memiliki kesepuhan dikarenakan perempuan
tidak boleh menjadi pemimpin. Sementara putranya yang pertama ke Lebak Larang arah
Pelabuhan Ratu, terus ke Pasir Jeungjing-Bojong cisono-Tegal lumbu-Talaga-Sirnar resmi-Ciganas-Cipta rasa-Cipta gelar, Sukabumi. Jadi kasepuhan yang
tersebar di beberapa daerah di Sukabumi tersebut awalnya dari Kampung Urug.
Putra ketiga tadi yang mendapat
amanat untuk mewarisi Kampung Adat Urug mempunyai tujuh orang anak disebarkan
ke beberapa daerah, yang paling jauh berada di Pasir Eurih, Banten. Yang paling
tua di Cipatat kolot Desa Sinar resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. mendapat
amanat hanya sekedar menjaga makam Prabu Siliwangi. Yang menerima amanat di
Kampung Urug kembali putra yang terakhir. Beliau kemudian punya lima anak dari
dua istri. Dari istri yang tua memiliki tiga anak, sementara dari istri yang
muda memiliki dua anak. Anak pertama dari istri yang pertama tadi menjadi cikal
bakal ketua adat Urug Tonggoh dan Tengah. Anak kedua dari istri pertama,
perempuan. Anak ketiga, laki-laki yang kembali mendapat amanat untuk di Kampung
Adat Urug (Lebak). Dua anak dari istri yang muda, pertama laki-laki,
kedua perempuan di Cidogèr, Sukajaya, Bogor
Mengenai identitas Prabu Siliwangi,
menurut Abah Ukat selaku kikolot, hanya ada satu Prabu Siliwangi namun
namanya banyak. Di satu tempat satu nama, ketika dia muncul dan menghilang itu.
Jayadewata namanya sewaktu kecil, nama lainnya
Manahrasa, “setiap orang punya manah, setiap orang punya rasa,
(hati dan perasaan).” disebut Prabu itu artinya orang tua (sepuh) yang tinggi
ilmu pengetahuannya, wangi itu harum, silih berarti sifat (saling) harus
silih asih, silih asah dan silih asuh. Karena itu, keharuman
Pajajaran Bogor sampai sekarang tidak hilang. Sedangkan makam Prabu Siliwangi
menurut Abah Ukat ada di Cipatat kolot atau Cipatat Girang, Kecamatan Sukajaya Kabupaten
Bogor.
Kepada putra terakhir
berjenis kelamin laki-laki yang diamanatkan untuk menetap di Kampung Urug dan
membuat kesepuhan dengan menerima amanat 5 macam yang menjadi kewajiban dan
harus dilakukan sesuai waktu yang telah ditetapkan, yaitu:
1.
Pertanian Melak pare
( Menanam padi)
Pertanian
melak pare adalah proses penanaman
padi di Kampung Urug yang hanya dilakukan satu kali setiap tahunnya. Yang
menentukan waktu penanaman adalah kikolot Kampung Urug. Penanaman padi
tidak boleh mamakai pupuk dan penyemprotan pestisida. Hal ini bertolak belakang
dengan peraturan pemerintah daerah karena umumnya para petani melakukan penanaman
padi 3 kali atau minimal 2 kali pertahun.
Berhubungan dengan pertanian (padi),
di Kampung Adat Urug dikenal cerita tentang Dewi Sri, yang disebut Nyai Sri, Nyai berarti perempuan. Padi ada yang berwarna merah, putih, hitam,
hijau dan kuning. Gelar Dewi Sri di Pajajaran Bogor yang diberikan oleh Prabu
Siliwangi berasal dari Sorga Maniloka, dari Kahyangan Jagad Suralaya, dan dari
para dewa. Wujud Dewi Sri awalnya berupa telur yang dijaga oleh Dewa Anta selama 40
hari sampai menetasnya. Awalnya selama 39 hari tidak menetas, Dewa Anta
memanggil Prabu Siliwangi, oleh Prabu Siliwangi dicipta menjadi seorang
manusia, perempuan, dikenal dengan Dewi Sri, umur sekian tahun meninggal tanpa
dikubur digeletakkan begitu saja. Dari kedua mata Dewi Sri keluar tanaman
berupa padi, tiga ikat dan dua ikat, jadi ada lima jenis seperti yang sudah
ditulis di atas tadi, akhirnya yang hijau dan yang kuning menyatu ke dalam raga
Prabu Siliwangi. Jenis yang merah, putih dan hitam gelar ke dunia menjadi padi
seperti yang kita kenal sekarang. Kelima jenis padi itu tadinya diturunkan di
Pajajaran Bogor, berhubung Prabu Siliwangi menghilang dan menuju Kampung Adat
Urug, jadi semuanya dibawa oleh Prabu Siliwangi termasuk bibit padi yang lima
itu, yang ditanam hanya tiga, yang merah, putih dan hitam, hakikatnya bibit
yang lima disimpan di suhunan (atap) rumah Adat Urug Lebak yang
berjumlah lima, satu atap satu warna. Gelar yang tiga tadi, hakekatnya Gedong Gedè (Rumah Adat Urug Lebak), Gedong
Luhur atau Paniisan (tempat berteduh), berupa bangunan
panggung tinggi tapi tidak terlalu besar dan Gedong Leutik (bangunan
yang sangat kecil).
Dalam
menumbuk dan menjemur padi tidak boleh pada Hari Senin dan Jum’at, karena
menurut sejarah pada Hari Senin adalah hari pertama Dewi Sri mendapat
menstruasi. Sehingga pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada Hari Senin. Sedangkan
pada Hari Jumat, darah
menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Dihari ini sebagian besar
penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah,
khususnya para pemegang adat. Kemudian, ketika akan mengambil beras dari pandaringan (tempat menyimpan beras)
harus rapih dalam berpakaian,
dalam tata-cara mengambil beras tersebut jangan asal, pada saat mau menyimpan
padi ke lumbung padi ada peraturanya, tidak asal menumpuk begitupun jika akan
mengeluarkan padi dari lumbung, pada saat akan menyimpan padi di lumbung ini
disebut entep seureuh (aturan dalam
mengambil beras dan padi agar tidak sembarangan).

Gambar 1.1 Leuit (Tempat penyimpanan padi)
Pada
proses panen di
Kampung Adat Urug, masih digunakan alat tradisional untuk memanen
padi yaitu ketam di daerah Sunda pada umumnya ketam disebut ètèm
(ani-ani).
Di Kampung Urug sendiri ada aturan
tidak diperbolehkannya memperjual belikan hasil pertanian padi mereka, padi
yang mereka tanam hanya diperbolehkan untuk memenuhi bahan pokok kehidupan
sehari hari mereka.
2.
Peraturan sedekah
setahun 5 kali
Sedekah setahun 5 kali
diantaranya adalah;
a. Sedekah
Bumi
Pada sedekah bumi ini
terdapat proses penyembelihan hewan ternak ditempat khusus agar darah dan bulu
dapat dimasukkan kedalam tanah yang telah digali oleh amilkasepuhan (orang
yang bertangggung jawab dalam suatu kasepuhan) Urug Lebak. Setelah acara
pemotongan hewan ternak, diadakan syukuran, dan ada acara memasak di luar rumah
sesuai aturan adat. Setelah itu ada acara makan bersama didepan rumah adat
kasepuhan. Makanan yang tersisa, kemudian dikubur oleh amilkasepuhan Urug
Lebak, setelah dikubur lalu diurug. Upacara sedekah bumi hanya boleh
dilaksanakan pada Hari Rabu.
b. Sedekah
Serentaun
Upacara kedua disebut
Seren Taun (Syukuran hasil panen), dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa syukur dari para petani disini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan
rasa syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta (memetik
dan mengambil harus minta izin kepada yang punya), rasa syukur ini
ditujukan kepada yang pertama kali telah memberikan bibit pokok dalam masalah
pangan kepada manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karena pada hakekatnya bumi
tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia adalah milik
Yang Maha Kuasa, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang
punya.
Rincian
kegiatan acaranya seperti berikut, kegiatan ini dilaksanakan setelah semua
warga selesai panen. Acara
Abah Ukat meyembelih kerbau
dimulai minimal jam 11 siang. Setelah semua prosesi penyembelihan, kerbau
sampai dimasak selesai sekitar jam empat
sore, setelah itu diadakan selametan. Menurut Abah Ukat, diadakan
selametan seren taun yaitu untuk memanjatkan do’a agar pertanian dan petani di Kampung
Urug selamat serta ada dalam keberkahan begitu juga umumnya dengan Negara
Republik Indonesia semoga subur makmur tidak terkena musibah. Pada hari
berikutnya, sekitar jam tujuh atau jam delapan pagi dilakukan ziarah bersama
para warga ke makam leluhur. Makam yang pertama dikunjungi yaitu makam yang berada di
Gedong Leutik, setelah itu baru masyarakat menyebar ziarah ke makam para
kerabatnya. Sepulang ziarah diadakan selametan lagi sebagai tanda telah
ziarah ke makam para leluhur kami.
Pada malam harinya, setelah Isya diadakan selametan kembali yang
diadakan di rumah adat. Selepas selametan dilaksanakan diadakan hiburan
seperti jaipong, wayang golek dan sebagainya.
Untuk pengisi acara sendiri mereka melakukannya secara sukarela tanpa diminta
oleh kikolot Kampung Urug. Pada pagi
harinya, sekitar
jam enam, semua warga kumpul, kemudian
satu keluarga diminta minimal
membawa satu ekor ayam kemudian disembelih satu persatu oleh ki Amil (sebutan
untuk juru sembelih dalam acara tersebut) tempat penyembelihannya sendiri harus
di dekat rumah adat. Setelah selesai disembelih ayam dimasak oleh masing-masing
keluarga minimal ngabakakak (membawa ayam bakar) lalu dibawa kembali ke
sini lengkap dengan nasi satu bakul dan olahan lainnya dikumpulkan di rumah
adat untuk acara selametan pada Hari Kamis setelah Dzuhur.
c. Sedekah
Pongokan di Bulan
Muharram
Upacara
sedekah Pongokan di Bulan Muharram, Sedekah pongokan di Bulan Muharram
dilaksanakan dalam rangka menutup Tahun Hijriah dan menyambut tahun baru
Hijriah, dengan harapan semoga yang dilakukan pada tahun baru itu semuanya
semoga diselamatkan dijaga dan diraksa (dihindarkan dari bahaya).
Warga membawa nasi kuning dengan lauk-pauknya (daging kerbau) setelah didoakan
(selametan) baru dibagikan kembali. Keramaiannya
lebih dari Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena bukan abah
yang mengundang tapi masyarakat yang datang sendiri”. Seperti dalam Seren
Taun, pada upacara Seren Pataunan banyak kelompok hiburan seperti jaipongan, wayang golek bahkan orgentunggal menginginkan
untuk “manggung” di Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar, tapi itu tergantung
Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu bisa diterima karena halaman rumah
adat sudah dirapihkan dengan semen dan batu sehingga tidak diboleh dibongkar
untuk mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari mana- mana itu tidak sebatas ikut
syukuran dan mendapatkan
berkat makanan, tetapi untuk bersilaturahmi
juga.
d. Sedekah
Rowah (Sedekah Ruwah)
Upacara
yang ketiga disebut Sedekah Rowah, dilaksanakan pada bulan Rowah
(Sya’ban), tanggal 12. Pagi hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga
satu ekor, disembelih di halaman rumah adat, selamatannya dilaksanakan ba’da
Dhuhur. Acara ini adalah untuk mengirim do’a sebagai wujud bakti kepada Nabi
Adam Alaihi Salam karena menjadi induk semua umat manusia. Manusia awalnya
diakherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan kembali
ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik ataupun buruk yang akan
diterima oleh Nu Kagungan (Yang Maha
Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat manusia awalnya di akherat
dahulu, lalu karena suatu hal ia diturunkan ke bumi.
e. Sedekah
Mulud (Sedekah Maulid)
Upacara Sedekah Mulud adalah upacara
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang
biasa disebut Muludan. Dalam acara ini ketua adat bersama warga khusus
mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena sudah
berjasa membawa Agama
Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah
dan olahan lauk pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah dido’akan.
Menurut
Abah Ukat, alasan diadakannya acara ini adalah, Nabi Muhammad pada saat berusia
25 tahun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, diberi Kitab Rasul dan Tasauf kemudian
harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara di Negara Mekah. Nabi Muhammad
patuh, taat dan melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa, maka selama mengajarkan rukun
Islam di Negara Mekah tersebut dan seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu
dikirim “bekal” oleh Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari setiap
umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut, karena itulah Abah
Ukat bersama warga Kampung Adat Urug melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada
Nabi Muhammad.
3. Ngejaga
Alam dan Memperdayakan Alam.
Hal
ini diamanatkan kepada kikolot untuk
menjaga dan melestarikan alam
sekitar Kampung Urug seperti halnya hutan terlarang yang
berada tepat disebelah Kampung Urug, beberapa hutan disekitar Kampung Urug, dan Taman Nasional
Gunung Halimun. Walaupun Taman Nasional Gunung Halimun sudah menjadi bagian
tanggung jawab dan dikelola oleh pemerintah tapi tetap menjadi kewajiban kikolot untuk menjaganya.
4.
Merawat Bangunan Gedong (Rumah Adat)
Merawat
Bangunan Gedong (Rumah Adat) yang di
amanatkan kepada kikolot ini terbilang
rumit karena harus sesuai dengan Rumah Adat sebelumnya mulai dari ukuran
bangunan, warna cat yang digunakan, banyaknya bahan yang digunakan seperti kayu
dan ukuran kayunya pun harus sesuai tidak kurang dan lebih karena setiap unsur
yang menjadi bagian rumah adat memiliki makna.
5. Merawat
3 Jalan Kampug Urug
Terdapat
3 jalan yang diamanatkan untuk di rawat kepada kikolot dan jalan tersebut memiliki kandungan arti tersendiri
diantaranya yaitu:
a.
Jalan Hakikat
Jalan Hakikat yaitu jalan menuju arah
kuburan para pendahulu Kampung
Urug dan kuburan umum
warga Kampung Urug. Mengapa di sebut
Jalan Hakekat? Menurut keterangan kikolot, karena hakikat setiap manusia
yaitu untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa.
b.
Jalan Syareat
Jalan Syareat ini adalah jalan yang
ditetapkan oleh pendahulu Kampung Urug untuk menjadi jalan warga untuk menuju
Kampung Urug. Jalan ini dinamakan jalan syareat karena menurut kikolot
Kampung Urug ini berdasarkan Syareat
yang didapat dari pendahulunya. Jadi, ketua kikolot
hanya menjalankan amanat dari para pendahulunya.
c.
Jalan Ma’rifat
Kata Maripat sendiri dapat diartikan
pengetahuan dan pengalaman, alasan tersendiri mengapa di beri nama Jalan
Ma’rifat untuk memberi tanda bahwasanya Kampung Urug ini adalah peninggalan
Prabu Siliwangi yang diteruskan oleh keturunanya.
Selain
5 amanat yang harus dijalankan terdapat beberapa hal amanat sesepuhnya yang
benar benar diwajibkan untuk dijalankan yaitu:
1.
MELAK PARE KUDU DINA
WAKTUNA ULAH SAMPE GAGAL PANEN
( Menanam padi harus
pada waktunya jangan sampai gagal panen)
Dalam
hal ini kikolot tidak boleh sembarangan, harus sesuai dengan perhitungan kikolot
dan tidak boleh sampai gagal panen. Itulah asalanya mengapa kikolot yang
mentukan kapan warganya harus menanam padinya dan hal ini pun menjawab
pertanyaan mengapa Kampung Urug hanya melakukan tanam panen setahun sekali. Dan
ini menjadikan ciri khas Kampung Urug dalam segi bertani.
2.
NGAJALANKEUN ACARA
SIDEKAH ANU SATAUN LIMA KALI
(Menjalankan acara sedekah dalam satu tahun lima kali)
Dalam hal ini
selain sangat di wajibkan untuk di jalani ada hal lain yang dimaksudkan yaitu
untuk rasa syukur Kikolot dan warga Kampung Urug terhadap yang Maha Kuasa yang
telah memberikan banyak sumber daya alam yang melimpah yang bisa di berdayakan
oleh masyarakat Kampung Urug untuk kebutuhan sehari harinya.
Kampung Urug memiliki 3 ucapan yang menjadi
pedoman dari leluhurnya, diantaranya yaitu:
1.
Titipan
Makna
Titipan itu sendiri sebenarnya hanya sebuah perumpamaan untuk tiga hal berikut
ini yaitu Gunung Kayuan, Lamping Awian, Legok Balongan. Penjabaran dari ketiga
istilah diatas yang dianut oleh Kampung Urug yaitu:
a.
Gunung kayuan
Maksud
dari kata Gunung kayuan adalah menanami wilayah gunung dengan pepohonan,
tujuannya agar hewan yang berekosistem di pegunungan dengan pepohonan sebagai
habitat hewan tersebut tidak kehilangan habitatnya dan hewan tidak berkeliaran
ke rumah warga terutama hewan buas yang dapat membahayakan masyarakat Kampung
Urug.
b.
Lamping Awian
Maksud
dari Lamping Awian adalah menjaga tebing gunung dan menanami tebing
gunung dengan pepohonan atau pohon bambu agar terhindar dari longsor dan hal
lain yang dapat memberi efek buruk terhadap Masyarakat Urug bisa di sebut juga
sebagai bentuk rasa syukur dan tanggung jawabnya untuk menjaga kelestarian alam
disekitarnya.
c.
Legok Balongan
Maksud
dari Legok Balongan adalah lembah jadikan kolam atau lembah di
perdayakan untuk bertani agar dapat memberi manfaat untuk masyarakat Kampung
Urug. Selain dijadikan lahan untuk bertani bisa juga digunakan untuk membuat
kolam ikan.
2.
Tutupan
Makna
Tutupan memiliki arti Sungapan ngarana mata cai anu bener bener kudu
dirawat ulah sampe dirusak. Maksud dari arti kata tersebut adalah menjaga
mata air yang digunakan sebagai tempat aliran air untuk mengairi lahan tani
masyarakat Kampung Urug dan sumber air yang di gunakan oleh Masyarakat Kampung
Urug.
3.
Awisan
Arti
Awisan yaitu cadangan garapan masyarakat sekitar dimana hak masyarakat
yang harus digarap mencakup 3 hal, yaitu:
a.
Tanah milik masyarakat
b.
Tanah kehutanan
c.
Taman nasional
Dalam hal ini Masyarakat Kampung
Urug tidak sembarangan dalam mengambil/menggarap lahan untuk membangun rumah
penduduk, mereka tetap menggunakan aspek aspek yang sudah di tetapkan
pemerintah dan dengan menyelaraskan antara peraturan kasepuhan dengan
pemerintahan. tanah yang mereka miliki sudah resmi terdaftar layaknya perumahan
di daerah kota yang memiliki sertifikat hak milik.
Bangunan
Adat di Kampung Adat Urug ada tiga bangunan yang mewakili tiga bentuk hukum yang berlaku di kampung Adat Urug yaitu
hukum Syareat atau agama, buhun atau kesepuhan, dan hukum negara, nama gedung itu ialah “Gedong Gede, Gedong Paniisan dan Gedong Alit.” Gedong Gede adalah gedung yang mempunyai fungsi sebagai tempat
musawarah dan juga balai pertemuan warga ketika ada permasalahan berkaitan
dengan adat, dan masalah-masalah yang masih mempunyai hubungan dengan masalah
sosial salah satunya ialah masalah pangan.
Gedong Gede adalah bangunan yang
mempunyai pungsi sebagai tempat musyawarah dan juga balai pertemuan warga
ketika ada permasalahan berkaitan dengan adat, pertanian dan tempat penerimaan
tamu dan penginapan tamu.
Gedong paniisan
adalah gedong yang terletak di Depan gedung Gede.
Gedong paniisan lebih tinggi dibandingkan gedong gede tetapi jauh lebih
kecil, hanya ada satu ruangan, disebut gedung luhur (gedung paniisan)
karena panisan berarti tempat berteduh, tetapi bukan tempat berteduh warga.
Tempat ini di pergunakan sebagai tempat menyendiri abah kolot.
Gedong Alit,
yaitu Terdapat bangunan kecil yang merupakan tempat makam leluhur, makam ini
sering di ziarahi warga ketika ada acara adat misalnya acara seren tahun dan seren patahun.
Seperti
yang anda ketahui setiap kampung adat memiliki bentuk rumah yang unik dan
berbeda yang membuat kampung adat memiliki ciri khas tersendiri. Namun seperti
banyaknya kampung adat lainya yang membangun bangunan rumahnya yang sering
disebut sebagai rumah panggung dengan menggunakan kayu/parkit sebagai bahan
utama bangunganya.Rumah adat Kampung Urug sendiri memiliki luas bangunan :
1. Panjang : 30 Meter
2. Lebar : 12 Meter
3. Tinggi : 4 Meter
Beberapa
bentuk bangunan memiliki arti tersendiri, berikut beberapa macam penjelasan
bentuk bangunan rumah adat Kampung urug yaitu:
a.
Jumlah pintu 7 buah

Gambar 1. Pintu Imah Gede
Menurut
penjelasan Kikolot arti dari 7 buah pintu memiliki filosofi tersendiri yaitu
banyak nya hari dalam satu minggu yaitu 7 hari.
b. Jumlah
jendela 9 buah

Gambar 1. Jendela Imah Gede
Dalam
penjelasan 9 jendela ini bergantung kepada siapa yang bertanya karena ada
beberapa penjelasan, bila yang bertanya adalah seorang Ibu yang mengandung
jawabanya adalah kandungan anak dalam rahim seorang ibu adalah 9 bulan. Bila
yang bertanya adalah seorang ulama dapat di artikan sebagai jumlah walisongo
yaitu 9 walisongo yang menyebarkan agama islam di indonesia. dan yang terakhir
bila yang bertanya adalah anak sekolah atau pelajar dapat diartikan dengan
jumlah angka yaitu 1.
Jumlah
ruang terdiri dari 5 ruangan dan memiliki kegunaanya tersendiri berikut nama
ruangan dan penjelasan kegunaanya:
1.
Ancol/ruang tamu
Ruangan
ancol ini digunakan untuk menerima tamu khusus yang datang ke Kampung Urug.
Meski dinamakan Ruang Ancol ruangan ini jarang sekali digunakan karena
diruangan ini terdapat artefak yaitu 4 kursi dan 1 meja berbentuk bundar.
Dijaman pendahulu ruangan ini digunakan sebagai mana namanya yaitu ruang tamu
tetapi di era Abah Ukat ini sudah tidak digunakan sebagai mana ruang tamu
semestinya karena 4 kursi dan 1 meja bundar yang terletak di ruang Ancol ini
sudah menjadi bagian artefak Kampung Urug, jadi lebih diperuntukan sebagai
benda prasejarah yang dijaga dan dirawat. Selain itu di ruangan ini banyak
Plakat yang di berikan pengunjung sebagai penghargaan terhadap Kampung Urug
karena telah mempertahankan salah satu cagar budaya di Indonesia. Letak ruangan
ini berada di antara Bale istirahat dan Ruang Musyawarah.
2.
Bale istirahat
Ruangan
Bale istirahat ini khusus digunakan sebagai tempat beristirahatnya pengunjung
di Kampung Urug, dan diruangan tersebut bukan hanya digunakan untuk
beristirahat tapi juga digunakan untuk bermalam karena belum ada akomodasi
tersendiri untuk pengunjung jadi kami pun bermalam di Bale istirahat. Diruangan
ini pun terdapat beberapa artefak peninggalan leluhur Kikolot seperti tanduk
rusa, alat-alat musik yang menjadi peninggalan berharga karena memiliki sejarah
tersendiri dan telah melewati banyak generasi karena telah berumur lebih dari
ratusan tahun. Letak ruangan ini berada tepat diantara Ancol/ruang tamu dan
Tepas/tempat riungan
3.
Tepas/tempat riungan
Ruangan
tepas ini berada di luar rumah atau di sampingnya, jika kalian pernah mendengar
Gazebo bentuknya tidak berbeda dengan Gazebo lainya yg membedakanya hanya tepas
ini menyatu asdengan bangunan rumah. Tempat ini dapat digunakan untuk tempat
bersantai dan melihat pemukiman warga karena tempatnya yang berlokasi di luar
rumah dan juga bisa melihat warga yang sedang beraktifitas.
4.
Bale musyawarah
Ruangan
musyawarah ini khusus digunakan untuk tempat berkumpulnya warga ketika
mengadakan acara tahunan khusus seperti sedekah bumi dan acara lainya yang
sudah di sebutkan sebelumnya, biasanya diadakan upacara syukuran di ruangan ini
adapun ruangan musyawarah ini digunakan untuk membahas persoalan atau masalah
yang perlu di musyawarahkan. untuk hari diluar acara tahunan ruangan ini
digunakan untuk menyambut tamu atau pengunjung yang ingin melakukan obserasi
ataupun berkunjung dan tempat untuk bertanya tentang Kampung Urug. Letak
ruangan ini berada di tengah bangunan rumah atau bisa di sebut ruang utama
untuk menghubung ruangan lainya dan satu satunya tempat yang dapat mengakses
menuju 2 kamar istirahat keluarga dan 2 ruangan penyimpanan beras, kue dan daging
yang di sebut kamar Goah/kamar kecil.
5.
Dapur/Pawon
Ruangan dapur/pawon yang satu ini kita dapat melihat banyak
perbedaan dengan dapur biasanya. Karena alat alat memasaknya yang berbeda,
seperti hal nya yang kita sering sebut dengan kata kompor diruangan ini masih
menggunakan tungku/semen cor untuk menjadi penyangganya dan kayu bakar sebagai
bahan utama pembakaranya.
Ada
8 bibit dari Kampung Urug
Keturunan pertama Uyut
Bangsa, mempunyai 4 anak yaitu Asweli, Mak Umi, Mak Asih, dan Mak Acoh.
Keturunan kedua Uyut Sajati, mempunyai 7 anak yaitu Hadi, Asti, Sarki, Jainam,
Mak Awah, Pak Arta, dan Pak Arsali. Keturunan ketiga yaitu Uyut Suriyah, Uyut
Suriyah ini tidak memiliki anak. Keturunan keempat yaitu Uyut Witi, mempunyai 5
anak bernama Mak Asih, Awa, Pak Tito, Maluita, dan Maarwaya. Keturunan kelima
bernama Uyut Maruita, mempunyai 3 anak bernama Pak Marta, Pak Mardi, dan Mak
Min. Keturunan keenam bernama Uyut Pitang, mempunyai 6 anak bernama Majana,
Sapri, Sawa, Calut, Sariwaya, dan Saruni. Keterunan ketujuh bernama Uyut Acong,
mempunyai 6 anak bernama Acong, Maliawas, Ardani, Mbah Kuru, Antana, dan Sewi.
Keturhnan kedelapan bernama Uyut Markah mempunyai 7 anak bernama Askawi,
Astani, Usman, Auta, Marsinah, Dani dan Asmali.
Pergantian pemangku adat dimulai dari Prabu siliwangi, lalu Abah
Suriyat, kemudian digantikan oleh Ali, lalu diteruskan oleh Abah Rukman,
selanjutnya Abah Adang, dan terakhir Abah Ukat. Abah Ukat ini adalah putra dari
Abah Rukman. Pergantian pemangku adat di Kampung Adat Urug ini tidak selalu
berdasarkan garis keturunan, melainkan melalui wangsit dari pendahulu yang
telah meninggal dunia.
Keadaan umum Kampung Adat Urug akan
menggambarkan kondisi nyata di Kampung Adat
Urug salah satunya yaitu letak geografis.

Gambar
2.1 Penunjuk arah ke Kampung Adat Urug

Gambar
2.2 Tugu selamat datang Desa Urug
Kampung Adat Urug terletak di
Kabupaten Bogor, tepatnya di desa Urug Kecamatan Sukajaya. Kampung Adat Urug
terdiri dari 8 RW dan 24 RT secara administratif. Kampung adat Urug masuk dalam
pemerintahan desa Urug Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.
Jarak tempuh Kampung Adat Urug dari
Kota Bogor kurang lebih 48 Km, dari Kecamatan Sukajaya sekitar 6 Km, dan dari
Kantor Desa Urug sekitar 1,2 Km. Kondisi jalan dari Kecamatan ke Kampung Urug
berkelok-kelok naik gunung mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang
sempit dan kondisi jalan yang mulai bagus karena sedang diadakan perbaikan
jalan.
Secara geografis Desa Urug
berbatasan dengan beberapa wilayah sebagai berikut:
a. Kampung
Adat Urug berbatasan dengan Desa Nanggung Kecamatan Nanggung di sebelah timur
dengan sungai Cidurian sebagai pembatas langsung.
b. Sebelah
Barat, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Pasir Madang
kecamatan Sukajaya.
c. Sebelah
selatan, Kampung Adat Urug berbatasan dengan desa Kiarasari Kecamatan Sukajaya
dan Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung
d. Sebelah
utara, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Harkatjaya Kecamatan Sukajaya
Topografi tanah terletak pada
kordinat 6 34’ 42” Lintang Selatan, dan 106 29’ 28” bujur timur dengan luas
wilayah 10 Ha. Terletak pada sebuah lembah yang sangat subur menjadikan Kampung
Adat Urug cocok untuk lahan pertanian khususnya tanaman padi. Luas lahan
pertanian Kampung Urug melebihi luas luas wilayah pemukimannya sendiri, Kampung
Adat Urug dikelilingi oleh sungai-sungai diantara sungai Cidurian, Ciapus, dan
Cipatat Leutik.
Bentang alam Kampung Adat Urug juga
dilengkapi oleh pegunungan, Gunung Pongkor yang merupakan tempat eksplorasi
pertambangan emas yang ada di sebelah timur Kampung Adat Urug. Pertambangan
Pongkor sendiri masuk wilayah kecamatan Nanggung dan tidak sedikit warga dari
Kampung Adat Urug yang berusaha disini baik sebagai penambang tradisional
maupun sebagai buruh tambang ataupun pedagang khususnya anak muda. Sementara di
arah selatan menjulang tinggi Gunung Manapa dan perkebunan sawit yang dikelola
oleh (PTPN) di sebelah Kampung Adat Urug. Kampung Urug mempunyai wilayah lahan yang
dimanfaatkan, antara lain: Hutan Keramat yang memiliki luas wilayah 20.000
m2. Komplek
Pemakaman dengan luas
wilayah 10.000 m2. Lahan
pertanian dengan luas wilayah 6.200 h2, dan
Luas
Tanah Darat sebesar 3.800
Ha.
Jumlah
penduduk Kampung Adat Urug tercatat 5.124 jiwa dengan penduduk laki-laki
berjumlah 2.874 jiwa dan penduduk perempuannya 2.250 jiwa yang berstatus warga
negara Indonesia dan Beragama Islam dengan jumlah 1.821 kepala keluarga. Di
Kampung Adat Urug sendiri masih sangat erat dengan budaya gotong royong
terlihat dari kehidupannya sehari hari, contohnya sendiri seperti yang kami
alami ketika berkunjung ke Kampung Urug ada truk yang membawa semen mengalami
kecelakaan sehingga truk tersebut terbalik. Kemudian warga berbondong-bondong
bekerja sama membalikkan truk yang terguling tersebut. Mereka bekerja sama
dikarenakan wilayah tersebut jauh dari jangkauan pemerintah.

Gambar
3.1 suasana saat terjadi kecelakaan truk di Kampung Urug

Gambar
3.2 warga bergotong royong membantu saat terjadi kecelakaan
Masyarakat
Kampung Urug sendiri tidak segan untuk mengizinkan tamu yang datang ke Kampung
Urug untuk menginap di rumahnya.
Mata
pencaharian masyarakat di Kampung Urug sama seperti masyarakat Kasepuhan
lainnya, masyarakat Kampung Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam mencukupi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kepemilikan lahan pertanian di Kampung Adat Urug adalah
perorangan atau milik masing-masing. Menurut Abah Ukat “pertanian
merupakan salah satu jalan kehidupan masyarakat. Maka, kegiatan yang digarap oleh
abah tidak lewat dari pertanian, sebab tani itu tidak bisa berbohong, yang
dilaksanakan dalam urusan padi yang sangat dimulyakan sebagai tanda
penghormatan karena sebenarnya apa padi itu? Secara syareat, kita tidak akan
punya tenaga jika tidak ada padi”. Pekerjaan menanam padi harus
dilakukan menurut aturan-aturan yang pelik sekali, mulai dari penggunaan azimat
dan doa-doa. Apabila padinya sudah tua lalu dipotong dengan sebuah ketam
yang terselindung dalam tangan, supaya tidak menakutkan dan menghalau jiwa
dermawan daripada padi itu. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip siklus
pertanian di Kampung Adat Urug, ketam sebagai alat tadisional memanen padi
masih digunkan, di daerah Sunda pada umumnya ketam disebut ètèm
(ani-ani).
Tingkat pendidikan masyarakat di
Kampung Adat Urug kebanyakan hanya sampai SLTP dan juga SLTA ada yang
melanjutkan ke perguruan tinggi, bahkan tak sedikit tidak lulus atau tamat SD
dan ada yang tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah. Pendidikan
formal yang ada di desa Urug hanya ada satu pendidikan tingkat dasar yaitu SDN Kiarapandak
02 dan pendidikan non formal yaitu terdapat dua pesantren. Rendahnya tingkat
pendidikan di Urug rendah disebabkan oleh adanya pandangan miring bahwa
pendidikan tidak terlalu dianggap penting.
Namun semenjak Desa Urug lepas dari
desa induknya yaitu Desa Kiarapandak, dibarengi dengan pemilihan kepala Desa
baru yang mana setiap calon kepala Desa diwajibkan mempunyai ijazah sekolah
sebagai syarat administrasi yang baru dimiliki setiap calon maka warga mulai
terbuka dan peduli terhadap dunia pendidikan dengan menyekolahkan anaknya ke
tingkat lanjutan.
Sarana dan Prasana yang terdapat di
Kampung Adat Urug diantaranya adalah sarana transportasi, komunikasi, sarana
peribadatan. Sarana transprtasi sudah cukup baik, jalan utama dapat dilalui
oleh kendaraan darat apa saja meskipun kondisi jalan belum dalam kondisi baik
seluruhnya, beberapa ruas jalan kondisinya masih berbolong. Jarak tempuh dari
Kampung Adat Urug ke desa, kecamatan, kabupaten dan Ibu kota provinsi, yaitu:
1. Kampung
Adat Urug ke Kantor Desa Urug: 1,2 km.
2. Kampung
Adat Urug ke Kantor Camat Sukajaya; 6 km.
3. Kampung
Adat Urug ke Kota Bogor: 45 km
Sarana
komunikasi yang berkembang di Kampung Adat Urug yaitu Handphone
(telepon genggam) dan televisi (menggunakan parabola).
Terdapat
tempat yang biasanya digunakan
untuk keperluan acara adat, dan tempat tinggal bagi para tamu, diantaranya yaitu Gedong Gede, Gedong Paniisan dan Gedong Ali. Kampung Adat Urug sudah
memiliki
tiga mesjid dan empat mushola dan dua lembaga pendidikan yaitu pesantren.
Pimpinan Kiyai Haji Suri dan Kiyai Haji Ujang dan ada pengajian malam selasa
sebagai pemenuh kebutuhan rohani warga.
Di sekitar
Rumah Adat Kampung Urug terdapat enam warga yang membuka
warung kecil di depan rumahnya. Sarana pemandian umum dan sungai dimanfaatkan
oleh mayoritas masyarakat Kampung Adat Urug untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti buat mandi, cuci dan masak.

Gambar
3.3 WC di Kampung Adat Urug
Kehidupan
masyarakat Kampung Adat Urug tampaknya banyak mengalami kemajuan di beberapa
bidang material dan imaterial. Kemajuan- kemajuan ini disadari oleh masyarakat
Kampung Adat Urug sebagai hasil usaha yang mereka lakukan sendiri. Keberhasilan
yang dicapai oleh masyarakat Kampung Adat Urug mengakibatkan kebutuhan disegala
bidang terus meningkat.
Keberhasilan
masyarakat Kampung Adat Urug tidak terlepas dari kearifan pemimpin formal dan
pemimpin informal. Pemimpin formal masyarakat adalah kepala Desa yang dibantu
oleh 4 ketua RW, 15 ketua RT, 1 Kepala Dusun, 3 angota BPD, 6 guru ngaji dan 3
petugas P3N/Amil. Sedangkan untuk pemimpin Informal Kampung Urug memiliki 11
Pemimpin Informal yang terdiri dari
ketua-ketua adat yang memiliki peran besar dalam mengurus dan
mempertahankan adat-istiadat di Kampung Adat Urug, dan membantu proses
pembangunan sarana umum, dan terjadi di Kampung adat Urug yang Mana Abah Ukat dengan
segala kemampuanya sebagai.
Ketua
Adat telah berhasil membangun jalan Adat, begitu juga pemerintahan formalnya
yang di wakili oleh Kepala Desa Bapak Tata Iskandar yang telah berhasil
membangun jalan Desa, kendaraan roda empat ada 15 buah dan roda kendaraan dua
200 buah.
Kepemimpinan
di Kampung Adat Urug dibagi menjadi tiga wilayah yang masing-masing di kepalai
oleh seorang Ketua Adat. Abah Ukat sebagai Ketua Adat Urug Lebak (bawah)
dan menjadi pusat pimpinan. Abah Amat sebagai Ketua Adat Tengah dan Abah Sukardi
sebagai Ketua Adat Urug Tonggoh (Atas) selain ketiga Ketua Adat yang ada
di Urug.
Sejak tahun 2010 menurut keterangan
Abah Ukat, Kampung Adat Urug ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah
melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor.

Gambar 3.4 Bukti peresmian Kampung Adat Urug telah
dijadikan cagar budaya.
E. Struktur Perkumpulan Kasepuhan Urug Lebak
Kasepuhan Kampung Adat Urug
memiliki struktur organisasi tersendiri.
Disana, setiap bagian memiliki penanggung jawabnya masing-masing.
Kasepuhan Urug Lebak diketuai oleh Abah Ukat Raja Aya dan didampingi oleh Bapak
Eki selaku wakil ketua. Dengan sekretaris kasepuhan yaitu Ulan, dan Rina selaku
wakil sekretaris. Adapun bendahara Kasepuhan Urug Lebak yaitu Saman dan
didampingi oleh Sukri selaku wakilnya. Di dalam Kasepuhan sendiri untuk bagian kesenian, memasak dan juru
bicara sudah ada penanggung jawabnya masing-masing.
Juru masak di Kasepuhan Kampung
Adat Urug diuraikan lagi menjadi lebih detail, di Imah gede tidak boleh
sembarang orang boleh memasak karena sudah ada bagiannya. Untuk juru masak nasi
ada lima orang yaitu Ibu Emur, Ibu Siti, Ibu Tuti, Ibu Arum, dan Ibu Emin.
Kemudian, untuk juru masak sayur dan daging ada tiga orang yaitu Ibu Upi, Ibu Rohanah, dan Ibu Ruminah.

![]() |
Gambar 3.5 Keadaan dapur di Imah Gede Kampung Adat Urug
Gambar 3.6 Tungku yang digunakan untuk memasak
Pengurus daging dan ikan dipegang
oleh dua orang, yaitu Bapak Dana dan Bapak Anip. Sistem perairan di Kampung
Adat Urug dipegang oleh Bapak Mardi. Bagian kebersihan dipegang oleh dua orang,
yaitu Asih dan Awit. Pegawai yang telah disebutkan diatas dimonitoring
oleh Bapak Miat.
BAB IV
PEREKONOMIAN
Seperti
masyarakat lain pada umumnya, masyarakat kasepuhan Kampung Adat Urug
mayoritas bertani sebagai salah satu mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halimi pada tahun 2013,
ada sekitar 4.320 warga yang bertani, 1.279 warga yang berdagang, dan 6 warga
berternak, dan ada beberapa orang yang menjadi penambang emas liar di daerah
Gunung Pongkor biasanya yang menjadi penambang emas liar adalah pemuda.
|

Lahan
pertanian di Kampung Adat Urug rata-rata milik perseorangan, namun mereka tidak
menjual hasil panen bertani mereka. Melainkan hasil dari bertani mereka hanya
untuk keperluan sehari-hari. Menurut Abah Ukat selaku kikolot Kampung
Adat Urug jika ada warga yang melanggar peraturan di Kampung Adat Urug termasuk
menjual hasil panen maka akan cilaka (Celaka). Di Kampung Adat Urug
masyarakat pantang mengurus padi pada Hari Senin dan dilarang pergi ke sawah
pada Hari Jumat seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Gambar
4.2 Terasering di Kampung Adat Urug
Sebanyak
1.729 warga yang bekerja sebagai pedagang, mereka menjadi pedagang eceran ikan
air laut di daerah Leuwiliang. Warga Kampung Urug menjadi pedagang ikan air
laut karena lokasi Kampung Urug sendiri berdekatan dengan Provinsi Banten,
dimana Banten sendiri dikenal dengan bahari yang melimpah.
Sebanyak
6 warga bekerja sebagai peternak, hewan yang diternakkan berupa sapi dan
kerbau. Sapi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Kampung
Adat Urug, sedangkan kerbau digunakan membajak sawah, karena menurut Abah Ukat
jika bertani dilarang menggunakan alat modern.

![]() |
Gambar 4.3 Hewan ternak kerbau masyarakat di Kampung Adat UrugGambar
4.4
Hewan ternak itik masyarakat di Kampung Adat Urug
BAB V
KEBUDAYAAN
Kebudayaan
di kasepuhan Kampung Adat Urug tidak jauh berbeda dengan kasepuhan kampung adat
lainnya, namun meskipun kebudayaannya sama dengan kasepuhan lainnya tetap ada
sedikit perbedaan, contohnya dalam proses melak pare (menanam padi),
seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa pada proses menanam
padi waktunya selalu ditentukan oleh kikolot Kampung Adat Urug kemudian
proses menanam padi juga hanya boleh dilakukan sekali dalam satu tahun dan
tidak boleh melibatkan alat modern dalam proses pembajakan sawahnya.
Ada
beberapa hal yang berbeda dari Kasepuhan Kampung Adat lainnya seperti Sedekah
Ruwah. Ruwah memiliki arti bulan ketujuh dan bulan Sya’ban kata ruwah sendri
berasal dari leluhur. Mengapa digunakan kata “ruwah”? Agar manusia ingat kepada
leluhurnya. Ruwahan dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Pada zaman dahulu, 10 hari sebelum datangnya bulan suci ramadhan masyarakat
melakukan ziarah ke makam keluarga mereka. Selain itu biasanya mereka juga
menyediakan makanan biasanya ayam atau permen ini yang disebut dengan sedekah
Ruwah.
Sedekah Ruwah di Kampung Adat Urug
ini dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi hari masyarakat
membawa ayam minimal satu keluarga satu ekor, disembelih di halaman rumah adat,
selamatannya dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini adalah untuk mengirim do’a
sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena menjadi induk semua
umat manusia. Manusia awalnya diakherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan)
akan kembali ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik ataupun buruk
yang akan diterima oleh Nu Kagungan
(Yang Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat manusia awalnya di
akherat dahulu, lalu karena suatu hal ia diturunkan ke bumi.
Selanjutnya yang berbeda dari
kasepuhan adat lainnya yaitu ada Sedekah Bumi, sedekah bumi adalah bentuk rasa
syukur kepada sang pencipta. Sedekah bumi masih banyak dijumpai di pedesaan
terutama yang kehdiupannya masih ditopang dari sektor pertanian. Upacara
Sedekah Bumi merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa
yang telah Tuhan berikan. Untuk masyarakat jawa terutama petani, Sedekah Bumi
mempunyai arti yang sangat mendalam, karena mengajarkan manusia agar akur
dengan alam semesta. Dalam prosesi Sedekah Bumi dimulai oleh ketua adat,
seluruh warga berkumpul disuatu tempat, dan masing masing warga membawa makanan
kemudian makanan yang dibawa tadi dinikmati bersama-sama.
Sedekah Bumi di Kasepuhan Kampung
Adat Urug terdapat proses penyembelihan hewan ternak ditempat khusus agar darah
dan bulu dapat dimasukkan kedalam tanah yang telah digali oleh amilkasepuhan
(orang yang bertangggung jawab dalam suatu kasepuhan) Urug Leubak. Setelah
acara pemotongan hewan ternak, diadakan syukuran, dan ada acara memasak di luar
rumah sesuai aturan adat. Setelah itu ada acara makan bersama di depan rumah
adat kasepuhan. Makanan yang tersisa, kemudian dikubur oleh amilkasepuhan Urug
Leubak, setelah dikubur lalu diurug. Upacara sedekah bumi hanya boleh
dilaksanakan pada Hari
Rabu.
Untuk mencapai
keselarasan, manusia harus mengetahui apa yang diperbolehkan dan apa yang
dilarang dalam kehidupan sehari-hari, maka ucapan dan tindakan harus seirama.
Atas dasar itulah ada konsep untuk mencapai keselarasan tersebut, yaitu
Konsep Ngaji
Diri
Ngaji diri
(mawas diri) adalah suatu ajaran dasar pembinaan moral untuk mengoreksi diri.
Ajaran tersebut bertujuan untuk menghilangkan sifat buruk yang ada dalam diri
manusia seperti iri dan dengki. Jika sudah terbentuk pribadi yang baik, maka
keselarasan, ketertiban, dan perdamaian akan terwujud.
Hal ini
tercermin dalam ungkapan warga kasepuhan, “mipit kudu amit ngala kudu
mènta, nganjuk kudu nawur nginjem kudu mulangkeun, leungit kudu daèk ngaganti,
sontakna kudu daèk nambal (mengambil dan memetik harus izin,
mempunyai hutang harus dibayar, meminjam harus dikembalikan, hilang harus
mengganti, rusak harus memperbaiki)” atau dalam ungkapan “nganggo kudu suci,
dahar kudu halal kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kudu sarèrèa,
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara (berpakaian harus bersih, makan
harus halal, mufakat harus bersama-sama, patuh pada hukum dan berlindung pada
negara)”. Di Kampung Adat Urug juga ada istilah yang dilontarkan oleh kikolot,
yaitu “samèmèh nyiwit batur, nyiwit heula diri sorangan (sebelum
mencubit orang lain, mencubit dulu diri sendiri)” artinya jika tidak ingin
disakiti maka jangan menyakiti orang lain, jika ingin dihormati, maka dia harus
menghormati orang lain terlebih dahulu. Menurut Abah Ukat, sebagai manusia
harus paheuyeuk-heuyeuk leungeun pantai-antai tangan, (saling membantu).
Manusia harus bisa nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah,
nyaangan ka nu poèkkeun, ngahudangkeun ka nu labuh, ngajait ka nu raheut (menolong
kepada yang membutuhkan dan kesusahan, memberi penerangan kepada yang kegelapan,
membangunkan yang terjatuh dan mengobati yang sedang terluka).
Di kampung Urug
konsep ngaji diri diuraikan lagi menjadi beberapa larangan dan beberapa anjuran
diantaranya;
Larangan ini
ada di dalam ungkapan mipit kudu amit ngala kudu menta, artinya
mengambil atau meminta sesuatu harus meminta izin terlebih dahulu kepada
pemiliknya. Di kampung Urug juga ada kebiasaan jika melewati kebun seseorang
tangan harus dikepalkan artinya jangan memetik tanpa meminta izin di kebun
orang. Pada Masrakat Kampung Adat Urug, ungkapan Mipit kudu amit ngala kudu
mènta tidak hanya berarti secara harfiah saja, yaitu larangan jangan
mencuri. Dibalik arti itu terdapat makna yang dalam menganai rasa syukur mereka
terhadap Yang Maha Kuasa.
Murah Bacot
artinya senang menyapa dan ramah terhadap orang lain. Sedangkan murah congcot
artinya baik hati suka memberi atau berbagi makanan. Congcot atau aseupan
sendiri dalam bahasa indonesia artinya alat tradisional untuk menanak nasi
berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman berbahan baku bambu, terkadang
digunakan sebagai alat mengukus. Murah
Bacot Murah Congcot memiliki makna sikap pribumi harus ramah kepada tamu. Murah
Congcot berarti pribumi harus menyediakan makanan bagi tamu, sedangkan Murah
Bacot adalah setelah menghidangkan makanan pribumi harus menawarkan kepada
tamu.
Guru Ratu Wong
Atua karo artinya wajib menghormati orang tua, guru, dan
ratu (pemerintah) Kalimat Guru Ratu wong Atua karo ini bisa
diartikan secara terpisah atau dalam satu kesatuan yaitu orang tua mempunyai fungsi sebagai guru harus bisa mendidik,
karena orang tua itu pendidik pertama dan utama. Sementara jika
diartikan secara terpisah, yaitu jika kita melawan kapada kedua orang tua, maka
akan durhaka, melawan kepada guru, ilmu tidak akan bermanfaat, dan melawan
kepada Ratu atau pemerintah yang baik artinya orang yang sedang mempunyai
kekuasaan atau jabatan, maka akan mendapat kesusahan.
Hidup sederhana
maksudnya jangan berlebihan dalam hal apapun, misalnya makan hanya sekedar
menghilangkan lapar. Tujuannya untuk menghindari sifat rakus. Ketika manusia
sudah memiliki sifat rakus, tamak dan serakah maka akan celaka, selalu
merasa kurang, tidak mudah bersyukur. Disamping cukup hidup juga harus mandiri,
hidup mandiri yang dicerminkan masyarakat Kampung Urug misalnya dalam hal
pertanian. Mereka memiliki sawah yang luas (6.200 Ha) bahkan sampai
masuk ke desa lain, tapi dari hasil panen itu sama sekali tidak dijual, panen
satu tahun sekali cukup untuk persediaan sehari-hari. Air juga sangat melimpah,
tidak kekeringan pada saat musim kemarau, karena mereka merawat alam, menjaga
hutan larangan, yang dijadikan kayu bakar hanya batang pohon yang sudah kering
atau mati. lauk pauk mereka sediakan sendiri, seperti telur, ayam, itik.
Setiap anggota tubuh memiliki hak masing-masing dan fungsinya
masing-masing sehingga apabila anggota tubuh digunakan untuk hal tidak baik di
Kampung Urug dikatakan pamali. Pamali sendiri banyak maknanya dalam hal ini
makna pamali yaitu apabila melanggar pasti badan yang merasakan akibatnya ada
pribahasa nafsu kasasarnya lampah badan anu katempuhan (bila kita
terbawa nafsu, maka badan yang menanggung akibatnya). Seperti yang sudah
dijelaskan di atas semua alat tubuh mempunyai hakekatnya maka harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya karena nantinya akan dimintai pertangung jawaban.
Upaya yang dilakukan sementara hanya berupa nasihat
yang disampaikan secara berulang-berulang oleh ketua adat pada setiap acara
upacara adat. Dalam menjaga adat istiadat juga harus Murah Bacot Murah
Congcot. Biasanya, dalam setiap acara upacara adat kikolot meminta waktu
paling sedikit empat jam untuk menceritakan sejarah Kampung Adat Urug dan
amanat-amanat dari leluhurnya, ketika Abah Ukat sedang bercerita Abah Ukat
menjadi pribadi lain yang tidak dikenali oleh warganya. Dalam menjaga
kebertahanan adat istiadat ketua adat bekerjasama dengan Pemerintah, bantuan
yang diberikan Pemerintah berupa uang dan sebagainya ynag dialokasikan untuk
setiap kegiatan berbagai upacara adat.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewantara, Asep. 2013. Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung
Adat Urug Bogor. Jakarta. Vol.
XIX No. 1. (http://journal.uinjkt.ac.id) diakses pada 25 April 2018.
Halimi. 2014. Kearifan Lokal Dalam Upaya Ketahanan Pangan di Kampung Adat Urug Bogor. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah; Jakarta. (http://repostory.uinjkt.ac.id) diakses pada 25 April 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar